IRDESS, INDRALAYA, OI – Warga dari berbagai desa khususnya di dalam
Kecamatan Pemulutan Selatan, Kabupaten Ogan Ilir (OI) sudah bertahun-tahun
memanfaatkan perahu untuk menyeberang ke Desa Ulak Standing, Desa Pematang
Bangsal, Segayan, Mayapati, dan Aur Standing. Bahkan kondisi ini sudah terjadi
sejak OI belum dimekarkan dan masih menginduk di Kabupaten OKI.
Ironisnya lagi, warga melalui pemerintah desa setempat sudah berulang kali
mengusulkan untuk dibuatkan jembatan penyeberangan. Namun sampai Kabupaten OI
dimekarkan, tak kunjung direalisasikan.
Warga menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OI, khususnya Dinas Pekerjaan
Umum (PU) Bina Marga (BM) OI terkesan tutup mata melihat kondisi demikian.
Padahal untuk menyeberang dengan menggunakan perahu memerlukan waktu
sekitar 10 menit, karenanya sebagian besar warga berharap Pemkab OI melalui
Dinas PU BM OI dapat segera membangun akses vital tersebut.
”Ya, beginilah kondisi kehidupan kami disini. Setiap warga yang hendak
menuju ke Desa Aur Standing, Segayam, Mayapati dan desa lainnya harus
menyeberang melalui sungai ini. Kami sudah berpuluh tahun memanfaatkan perahu
untuk menyeberang,” ujar Amir (27), warga Desa Ulak Aur Standing, Kecamatan
Pemulutan Selatan, kemarin (3/11).
Untuk satu kali menyeberang menggunakan perahu, masih kata Amir, dipungut
biaya sebesar Rp1.000 per orang. Sementara untuk sepeda motor berikut satu
orang pengendara dikenakan Rp5.000 sekali.
Sebenarnya, lanjutnya, ada jalan alternatif yang dapat digunakan warga untuk
menuju ke desa lain tanpa harus menggunakan perahu yakni dengan melewati Desa
Pegayut.
Namun jarak yang haru ditempuh jika melintasi Desa Pegayut sekitar 10
kilometer. Sementara warga menggunakan perahu hanya memerlukan waktu selama 10
menit.
”Ada jalan alternatif. Tapi sangat jauh sehingga warga lebih memilih
menggunakan perahu,” tuturnya.
Hal senada juga dilontarkan Sangkut, warga Desa Aur Standing, dirinya
mengaku profesi sehari-hari warga disini hanya mengandalkan cocok tanam padi
dan mencari iklan.
”Disini rawan sekali kriminalitas. Bayangkan saja masyarakat hanya
mengandalkan satu kali panen saja. Setelah itu menganggur. Ya, seharusnya juga
pemerintah dapat memberikan lebih seperti pembangunan infrastruktur jembatan
yang baik sehingga memudahkan warga menyeberang dan pekerjaan yang layak kepada
masyarakat,” tuturnya.
Diakuinya, kerap kali masyarakat menyampaikan permintaan kepada Kades untuk
dibuatkan jembatan, baik melalui musrenbang desa, kecamatan hingga kabupaten.
Namun sampai saat ini tidak direalisasikan.
”Memang sekarang ini pemerintah fokus membangun gedung perkantoran yang
megah. Tapi pembangunan yang kecil dan lebih vital jangan pula dikesampingkan.
Akibatnya masyarakat sendiri yang dirugikan,” terangnya.
Sementara itu, pengemudi ketek penyeberangan, Usman mengaku, tidak mudah
mendapatkan pekerjaan sebagai yang didapatnya. Untuk mendapatkan pekerjaan ini
harus merogo kocek Rp600 juta.
”Sistem ambil jasa penyeberangan melalui ketek ini, sistem lelang setiap
tahun harus keluar uang Rp60 juta. Enak kalau kita sendiri yang ambil alih,
Rp60 juta itu harus dikeluarkan tiga pemenang lelang. Nanti, hasilnya kita
dapat jatah sip, dari tiga pemenang dalam sebulan dapat satu minggu jalan,”
paparnya.
Untuk pendapatan perhari, lanjutnya, cukup menggiurkan, dalam sehari
dirinya berhasil mengantongi Rp 1 juta. ”Itu kotor, bersihnya 800 ribu, ya
lumayanlah,” terangnya seraya mengaku, jika tidak sistem lelang pasti akan
terjadi keributan, tentunya banyak sekali yang ingin menjadi taksi ketek.
Menyikapi hal itu, Kepala Dinas PUBM OI, Muhsin Abdullah saat dikonfirmasi
mengenai permintaan warga perihal pembangunan jembatan penyeberangan di desa
dalam Kecamatan Pemulutan Selatan enggan berkomentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar